Masyarakat “Makan Gaji” dan Lunturya Semangat Berwirausaha, Mencari Zona Aman di Negeri Kaya Potensi

Negeri Kaya Potensi

banner 120x600

Oleh: CEO Redaksi Lili Suheli, ST.

Medan  | Timelinenewsidn.com,–Dalam percakapan sehari-hari, tak asing terdengar kalimat, “Yang penting kerja tetap, gaji bulanan aman.” Kalimat sederhana ini merefleksikan pola pikir yang telah mengakar kuat di masyarakat kita, bekerja sebagai karyawan tetap dianggap sebagai puncak kenyamanan dan kesuksesan. Selasa (8/4/2025)

Tidak salah memang. Di tengah kondisi ekonomi yang fluktuatif, harga bahan pokok yang tak stabil, dan lapangan pekerjaan yang terbatas, memiliki penghasilan tetap adalah impian banyak orang. Tapi jika semua orang hanya ingin menjadi pekerja, siapa yang akan menciptakan lapangan kerja?

Fenomena ini disebut para sosiolog sebagai “mental pegawai”—sebuah kecenderungan untuk mencari kestabilan ekonomi tanpa mempertimbangkan potensi menciptakan nilai tambah secara mandiri. Istilah lainnya, job security over risk-taking.

Dikutip Sosiolog Universitas Indonesia, Prof. Dr. Paulus Wirutomo, pernah menyebut bahwa budaya paternalistik dan sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai akademik, bukan keterampilan praktis, membuat lulusan lebih banyak mengejar pekerjaan “mapan” dibanding menjadi inovator atau pelaku usaha.

Ijazah Mahal, Mimpi Sederhana. Setiap tahun, Indonesia meluluskan lebih dari 1 juta mahasiswa dari berbagai jurusan. Namun menurut data BPS, kontribusi wirausaha terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih didominasi oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tradisional, bukan dari lulusan baru yang memanfaatkan teknologi dan inovasi.

Padahal, biaya pendidikan tinggi bukanlah perkara murah. Orang tua banting tulang, menjual sawah, mengambil pinjaman, demi melihat anaknya mengenakan toga. Tapi apa hasilnya jika setelah lulus, sang anak hanya mengejar pekerjaan yang bahkan harus “disogok” untuk didapatkan?

Ini bukan sekadar ironi, melainkan kegagalan sistemik dalam membangun ekosistem kewirausahaan yang sehat.

Negeri Kaya, Tapi Konsumen Berat. Indonesia bukan negara miskin sumber daya. Kita punya tambang, laut, hutan, dan tanah subur. Kita juga memiliki bonus demografi: mayoritas penduduk berada dalam usia produktif. Secara teori, ini adalah modal besar untuk membangun negeri mandiri.

Namun realita di lapangan berkata lain. Data Kementerian Koperasi dan UMKM (2024) menyebutkan, jumlah pengusaha di Indonesia masih di bawah 4% dari total populasi. Bandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat (11%) atau Singapura (8%).

Sementara itu, produk luar negeri membanjiri pasar dalam negeri, mulai dari barang elektronik, makanan kemasan, hingga produk fesyen. Label “made in China” atau “imported from Korea” menjadi daya tarik tersendiri, bahkan bagi kalangan menengah ke atas.

Kampanye “Cintailah Produk Indonesia” yang dulu digaungkan kini hanya tinggal slogan. Pasar domestik menjadi surga bagi barang-barang luar yang lebih murah dan agresif dari sisi pemasaran.

Ketika Regulasi Membatasi Kreasi. Banyak pelaku usaha lokal mengeluhkan hambatan birokrasi, izin usaha yang berbelit, pengawasan lingkungan yang tak proporsional, hingga ancaman sanksi akibat kesalahan administratif. Beberapa bahkan merasa diintimidasi karena usaha mereka dinilai tidak “memenuhi standar”—meski produk mereka justru mendapat sambutan baik dari masyarakat.

Hal ini mempersempit ruang kreativitas. Masyarakat takut berinovasi. Setiap ide dianggap berisiko. Akibatnya, mereka kembali memilih jalur paling “aman”: menjadi pegawai.

“Bukannya kami tak mau buka usaha, tapi banyak ketakutan soal izin, pajak, limbah, sampai tetek-bengek yang bikin pusing. Belum jalan, sudah takut tutup,” kata Rini, mantan pegawai bank yang kini berjualan kue rumahan.

Wirausaha Adalah Kunci Bangsa Maju. Negara seperti Jepang dan Korea Selatan bangkit dari keterpurukan ekonomi bukan hanya karena teknologi, tapi karena membangun budaya inovasi dan kemandirian ekonomi. Mereka melahirkan generasi entrepreneur yang tidak hanya mencari untung, tapi menciptakan dampak sosial.

Indonesia pun memiliki potensi serupa. Platform digital, e-commerce, fintech, hingga social enterprise bisa menjadi ladang subur bagi wirausahawan muda. Tapi diperlukan keberanian, pendampingan, serta dukungan dari ekosistem—baik dari pemerintah, swasta, maupun lembaga pendidikan.

“Pemerintah tak cukup hanya menggelar pelatihan dan membagikan sertifikat. Harus ada kebijakan nyata untuk melindungi dan memberdayakan pelaku usaha. Mereka inilah pahlawan ekonomi sesungguhnya,” ungkap ekonom INDEF, Bhima Yudhistira.

Merubah Mindset, Dari Pencari Kerja Menjadi Pencipta Lapangan Kerja. Perubahan harus dimulai dari paradigma, bahwa menjadi wirausaha bukanlah jalan terakhir, melainkan pilihan utama. Menjadi karyawan bukanlah satu-satunya tujuan hidup setelah lulus kuliah. Justru dengan membuka usaha, seseorang bisa meraih potensi tak terbatas, membangun jejaring, menciptakan inovasi, dan memberi pekerjaan bagi orang lain.

Kita perlu membentuk generasi dengan growth mindset—yang melihat kegagalan sebagai proses, bukan akhir. Yang tak takut bersaing di pasar global, namun tetap mencintai produk lokal.

Mari akhiri mental “zona aman” dan mulai membangun negeri ini dari ide, kerja keras, dan keberanian mengambil risiko. Sebab jika tidak sekarang, kapan lagi? Dan jika bukan kita, siapa lagi?.(Red**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *