MENATA ULANG PENEGAKAN HUKUM TIPIKOR LEWAT REVISI KUHAP

REVISI KUHAP

banner 120x600

 

Oleh: Dr. Ikhwaluddin Simatupang, S.H., M.Hum.
(Ahli Hukum Pidana, Penasehat JMI Sumut)

Medan | Timelinnewsidn.com-Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi momentum penting untuk menata ulang sistem penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kita semua sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama. Namun musuh ini tidak akan pernah bisa ditundukkan jika lembaga-lembaga penegak hukum bekerja tumpang tindih, bahkan saling mengaburkan peran. Kamis (10/4/2025)

Saya melihat bahwa dalam perkara Tipikor, perlu ada pemisahan fungsi yang tegas antara penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Kewenangan lidik dan sidik cukup diberikan kepada satu lembaga: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Sedangkan fungsi penuntutan harus diletakkan sepenuhnya di tangan Kejaksaan.

Mengapa ini penting? Karena sistem penegakan hukum yang terpadu bukan berarti semua institusi saling berebut peran, melainkan saling memperkuat dengan batas yang jelas. Jika semua lembaga ingin menjadi “serba bisa”, maka yang terjadi justru kekacauan koordinasi, lemahnya akuntabilitas, dan minimnya efektivitas.

KPK Bukan Lagi Harus Menangani Semua

Selama ini KPK sering dibebani perkara-perkara yang, sejujurnya, bisa ditangani oleh Polri. Maka, dalam skema yang saya tawarkan, KPK hanya menangani korupsi yang melibatkan pejabat publik hasil proses elektoral—seperti gubernur, bupati, walikota, serta menteri dan sekjen kementerian. Kasus-kasus yang melibatkan kepala dinas atau pejabat teknis lainnya, sebaiknya menjadi domain Polri.

Alasannya sederhana: KPK harus fokus menghadapi perkara yang berpotensi bersinggungan langsung dengan kekuatan politik besar. Inilah tantangan utama pemberantasan korupsi di Indonesia—politik kekuasaan yang membajak hukum. KPK tidak boleh dipecah konsentrasinya dengan kasus-kasus teknis yang bisa diselesaikan oleh institusi lain.

Polri Perlu Direktorat Tipikor Tersendiri

Polri memiliki jaringan struktur hingga ke tingkat daerah. Ini adalah kekuatan besar dalam menindak kasus Tipikor secara menyeluruh dan merata. Namun kekuatan itu harus diimbangi dengan penguatan kelembagaan. Saya mengusulkan dibentuknya Direktorat Tindak Pidana Korupsi di tubuh Polri yang diisi oleh penyidik pilihan—bersih, profesional, dan kredibel. Fokus utama mereka: menangani Tipikor berdasarkan wilayah, dari pusat hingga daerah.

Kejaksaan: Penjaga Kehormatan Penuntutan. 

Penuntutan adalah tahap krusial dalam sistem peradilan pidana. Di sinilah nasib dan kehormatan seseorang dipertaruhkan secara terbuka di hadapan hukum. Oleh karena itu, saya berpandangan, Kejaksaan harus menjadi satu-satunya lembaga penuntut dalam kasus Tipikor.

Untuk perkara hasil penyidikan KPK, penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung. Sedangkan perkara dari Polri, penanganannya mengikuti struktur wilayah: Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, atau Kejaksaan Agung.

Menuju Sistem yang Tegas dan Terukur

Jika revisi KUHAP ingin menjawab tantangan zaman, maka ini saatnya membuat sistem yang tegas, terukur, dan tidak saling tumpang tindih. Kita tidak sedang membangun ego lembaga, tetapi membangun keadilan hukum yang tangguh dan dipercaya publik.

Mari kita berhenti membuat semua lembaga menjadi “superman”. Sebaliknya, mari dorong setiap institusi hukum menjadi ahli dalam perannya masing-masing. Hanya dengan cara ini, kita bisa melangkah menuju pemberantasan korupsi yang benar-benar berdampak dan bermartabat.**

Laporan I Lie I Editor | Redaksi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *