Oleh: Lili Suheli, ST. (Ketua Yayasan Cinta Keadilan Indonesia) (Foto : Saat Mou PPL & PDGs UIN Sumatera Utara bersama YCKI)
Medan | Timelinenewsidn.com-Di tengah gempuran teknologi yang melaju tanpa henti, kita menyaksikan sebuah ironi besar. Di satu sisi, negara dan lembaga terus menggembar-gemborkan upaya perlindungan anak melalui berbagai peraturan dan program hukum. Namun di sisi lain, perhatian terhadap ancaman nyata yang menggerus masa depan anak yaitu pengaruh buruk dari dunia informasi digital yang bebas tanpa batas masih sangat minim dan tidak konsisten. Senin (6/5/25)
Gadget kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak. Sejak bangun tidur hingga menjelang tidur malam, jari-jari mungil mereka sibuk menelusuri layar kecil yang menawarkan segalanya: hiburan, permainan, tontonan, hingga dunia maya yang tampak begitu memikat. Namun, di balik kilauan cahaya layar itu, tersimpan bahaya yang tidak main-main, degradasi moral, kecanduan, kerusakan mental, dan krisis karakter.
Orang Tua Mengeluh, Tapi Siapa yang Mendengar?
Setiap orang tua hari ini bisa menceritakan kisah yang sama, anak-anak yang dulu ceria kini jadi pendiam, mudah marah, tak sabar, sulit bersosialisasi, dan kehilangan minat terhadap hal-hal nyata di sekeliling mereka. Banyak pula yang menunjukkan tanda-tanda kecemasan, insomnia, bahkan perilaku agresif akibat terlalu lama terpapar konten di gawai mereka. Ketika anak-anak lebih mengenal tokoh game daripada tokoh pahlawan, lebih akrab dengan istilah viral ketimbang nilai-nilai kebaikan, itu adalah alarm bahaya yang seharusnya menggugah kita semua.
Namun pertanyaannya, di mana negara? Di mana para pemangku kebijakan? Di mana kebijakan yang tegas untuk melindungi anak-anak kita dari bahaya ini?
Hukum Saja Tak Cukup
Perlindungan anak tidak cukup hanya dengan membuat undang-undang. Tanpa langkah konkret dan terstruktur dari para pemimpin, tokoh masyarakat, dan institusi yang berwenang, semua itu hanya akan menjadi tulisan indah di atas kertas.
Sangat disayangkan bahwa sampai hari ini, masih banyak pemangku jabatan yang belum memahami secara utuh dampak destruktif dari dunia informasi digital terhadap anak-anak. Belum ada mekanisme yang kuat untuk mengontrol konten, membatasi akses anak terhadap informasi yang tidak layak, atau mengedukasi orang tua dalam pendampingan digital yang sehat. Padahal, dunia digital sudah menjadi “lingkungan hidup” kedua bagi anak-anak kita.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Kita butuh kebijakan yang tidak hanya reaktif, tapi juga preventif dan edukatif. Beberapa langkah yang harus segera dilakukan antara lain:
1. Regulasi Ketat Terhadap Konten Digital: Pemerintah harus bekerja sama dengan platform digital untuk menyaring konten yang tidak sesuai usia, serta memberikan label dan filter otomatis bagi anak-anak.
2. Edukasi Literasi Digital Sejak Dini, Kurikulum sekolah perlu memasukkan pendidikan digital, bukan sekadar kemampuan teknis, tapi juga etika, kontrol diri, dan pemahaman bahaya konten yang salah.
3. Pelatihan Orang Tua, Membekali para orang tua dengan pengetahuan dan keterampilan mendampingi anak di era digital. Termasuk mengatur waktu layar (screen time) dan mengenali gejala kecanduan digital.
4. Kampanye Nasional Perlindungan Digital Anak, Pemerintah harus meluncurkan kampanye masif untuk membangun kesadaran kolektif bahwa keselamatan anak bukan hanya urusan rumah tangga, tapi juga urusan negara.
5. Mendorong Peran Aktif Lembaga Sosial dan Keagamaan, Lembaga non-pemerintah harus turut mengambil peran dalam membangun karakter anak, menciptakan ruang kreatif yang bebas dari pengaruh digital negatif.
Ini Tanggung Jawab Kita Bersama
Kita tidak bisa menunggu lebih lama. Setiap hari yang berlalu tanpa langkah nyata berarti semakin banyak anak yang terpapar, semakin rusak nilai-nilai yang mereka miliki, dan semakin rapuh generasi yang akan kita wariskan untuk memimpin bangsa ini di masa depan.
Ini adalah seruan hati, bukan hanya dari seorang warga, tapi dari orang tua, pendidik, dan pencinta masa depan bangsa. Jika kita ingin sungguh-sungguh melindungi anak, maka kita harus berani menghadapi musuh yang sesungguhnya, dunia informasi digital yang dibiarkan liar tanpa pagar moral.Saatnya kita bergerak. Sebelum semuanya terlambat.*As)