Anak Dibawah Umur Tawuran, Masyarakat Terancam, Perlindungan Siapa yang Utama?

Artikel Pemerhati

banner 120x600
Oleh: Agus Saputra, S.Hi ( Wartawan Permerhati Kasus Anak-anak). (Foto: Timelinnewsidn/Ist/dokpri)

Medan | Timelinnewsidn.com – Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia dihadapkan pada fenomena yang mencemaskan maraknya keterlibatan anak-anak dalam aksi kekerasan jalanan. Tawuran, pengeroyokan, hingga penyerangan terhadap warga sipil kini tak lagi hanya dilakukan oleh orang dewasa. Anak-anak di bawah umur, bahkan pelajar berseragam, tak segan mengangkat senjata tajam dan menyerang secara brutal. Rekaman kejadian ini dengan cepat menyebar di media sosial, menambah kecemasan publik.Selasa, (7/5/2025)

Paradoks Perlindungan Hukum. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengedepankan prinsip perlindungan dan pendekatan restoratif terhadap anak pelaku tindak pidana. Tujuannya mulia memberi ruang rehabilitasi bagi masa depan anak. Namun, realitas di lapangan menunjukkan tantangan besar. Masyarakat kerap bertanya: siapa yang melindungi kami dari kekerasan anak-anak yang kian brutal?

Perlindungan hukum terhadap anak tak boleh menjadi tameng impunitas. Fakta bahwa mereka masih di bawah umur tidak serta-merta menghapus dampak nyata dari tindakan mereka mulai dari luka fisik hingga trauma berkepanjangan bagi korban.

Akar Masalah, Bukan Sekadar Anak Bermasalah. Anak yang terlibat kekerasan sering kali bukan pelaku tunggal dalam arti moral. Mereka adalah produk dari kegagalan sistemik: keluarga yang rapuh, lingkungan sosial yang permisif terhadap kekerasan, pendidikan yang tak menyentuh karakter, serta kurangnya pengawasan dari negara dan masyarakat. Dalam banyak kasus, anak-anak ini kehilangan panutan dan pengendalian sosial sejak usia dini.

Namun, urgensi perlindungan terhadap anak tidak boleh membutakan kita dari bahaya nyata yang mereka timbulkan. Negara harus jujur menatap akar masalah sekaligus berani mengambil tindakan tegas demi mencegah jatuhnya korban lebih banyak.

Hak Membela Diri dalam Ancaman Nyata. Konstitusi memberikan hak kepada setiap warga untuk membela diri. Pasal 49 KUHP menyatakan bahwa siapa pun yang melakukan pembelaan terpaksa terhadap serangan melawan hukum, tidak dapat dipidana. Ini berlaku tanpa pengecualian, termasuk ketika pelaku penyerangan adalah anak di bawah umur.

Namun kenyataannya, warga kerap ragu bertindak tegas. Kekhawatiran akan kriminalisasi justru menimbulkan dilema hukum yang kompleks, membiarkan diri diserang atau berisiko dipidana karena melawan pelaku anak. Celah hukum ini perlu ditinjau ulang. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, misalnya, kerap dianggap terlalu melindungi tanpa mempertimbangkan dinamika sosial yang berkembang.

Pencegahan Harus Lebih Dulu. Langkah represif saja tak cukup. Pencegahan adalah kunci utama. Pendidikan karakter di sekolah, penguatan peran keluarga, patroli sekolah, serta keterlibatan tokoh agama dan masyarakat dalam pengawasan remaja harus menjadi program prioritas nasional.

Sekolah yang diketahui menjadi sarang geng pelajar atau kelompok kekerasan harus mendapat perhatian khusus dari dinas pendidikan dan kepolisian. Tidak cukup hanya membina perlu ada tindakan tegas dan sistematis agar ruang kekerasan tak terus tumbuh.

Menjaga Masa Depan Tanpa Mengorbankan Rasa Aman. Anak adalah masa depan bangsa. Tapi jika masa depan itu kini menghadirkan rasa takut di tengah masyarakat, maka negara wajib bertindak. Perlindungan terhadap anak tidak boleh mengabaikan rasa aman publik. Sebaliknya, perlindungan masyarakat pun harus tetap menghargai hak dan masa depan anak.

Negara tidak boleh absen. Sudah saatnya kita menyusun ulang strategi perlindungan anak dengan keseimbangan antara keadilan, pencegahan, dan ketegasan hukum. Masyarakat butuh rasa aman, dan anak-anak butuh arah. Negara wajib menjamin keduanya.(Red*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *