Oleh: Agus Syahputra, S.HI (Penggiat wartawan hukum dan pendidik sosial, aktif masyarakat dan edukasi hukum untuk pelajar dan remaja)
“Mengutip pendapat: Dr (C) Andi Sitorus, S.H., M.H. dan Muslim Harahap, S.H., M.H”.
Medan | Timelinnewsidn- Remaja sejatinya adalah matahari pagi: cemerlang, penuh harapan, dan menjanjikan masa depan yang lebih baik. Namun apa jadinya jika sinar itu meredup sebelum menyinari dunia, lantaran terseret ke dalam lingkaran kekerasan, geng motor, atau bahkan kejahatan jalanan seperti begal?
Fenomena ini kini bukan lagi isu lokal. Di berbagai kota, termasuk Medan dan sekitarnya, aksi tawuran pelajar, konvoi ugal-ugalan geng motor, dan pembegalan yang sadis semakin sering terjadi. Tak sedikit pelakunya adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Mereka melukai bahkan membunuh sesama hanya demi pengakuan, keberanian semu, atau konten media sosial yang viral.
Padahal, satu tarikan parang atau satu hantaman batu bisa membawa mereka ke balik jeruji besi, merusak nama baik keluarga, dan mengubur impian di masa depan. Apakah mereka menyadari konsekuensi hukum atas tindakan tersebut?
Tawuran dan Geng Motor Bukan Budaya: Itu Kejahatan.
Dalam sebuah diskusi hukum, Dr. Andi Sitorus, S.H., M.H., seorang pakar hukum pidana dari Sumatera Utara menegaskan:
“Hukum tidak membedakan pelaku hanya berdasarkan usia jika nyawa dan keselamatan publik menjadi korban. Meski remaja, pelaku tawuran atau geng motor yang menyebabkan luka berat atau kematian tetap bisa dijerat dengan pidana berat. Kita harus berhenti memaklumi kekerasan sebagai bagian dari kenakalan remaja.”
Dr. Andi Sitorus, S.H., M.H menekankan bahwa solidaritas kelompok, balas dendam, atau sekadar ingin ‘terkenal’ bukanlah alasan pembenar. Hukum Indonesia, melalui Pasal 170 KUHP, dengan tegas menyatakan bahwa siapa pun yang melakukan kekerasan secara bersama-sama di muka umum dapat dipidana hingga 12 tahun penjara, bahkan 15 tahun jika mengakibatkan kematian.
Aksi pembegalan, di sisi lain, diatur dalam Pasal 365 KUHP. Ancaman hukumannya bisa mencapai hukuman mati jika dilakukan bersama-sama dan menyebabkan kematian korban. Bahkan, hanya dengan membawa senjata tajam saat konvoi geng motor, tanpa ada korban sekalipun, seseorang bisa dijerat UU Darurat No. 12 Tahun 1951, dengan ancaman 10 tahun penjara.
Muslim Harahap: “Pendidikan Hukum Sejak Dini adalah Kebutuhan Mendesak”
Muslim Harahap, S.H., M.H., akademisi Universitas Harapan dan praktisi hukum, menyuarakan kegelisahan yang sama. Ia berkata:
“Kita menyaksikan generasi muda semakin mudah tersulut emosi, mudah terprovokasi, dan minim kesadaran hukum. Ini adalah tanda darurat. Pendidikan hukum tidak boleh hanya untuk mahasiswa fakultas hukum. Remaja SMP dan SMA pun harus belajar hukum dasar agar paham batas antara kebebasan dan pelanggaran.”
Ia menyoroti penggunaan media sosial sebagai pemicu kerusuhan. Banyak video tawuran dan aksi geng motor yang justru diunggah sendiri oleh pelaku, tanpa menyadari bahwa rekaman tersebut bisa dijadikan alat bukti digital di pengadilan. Tak ada lagi ruang untuk bersembunyi di balik kerumunan.
Selain itu, Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) bersama instansi-instansi terkait kususnya di belawan, bisa melakukan upaya preventif, sosialisasi, serta melakukan latihan ala semi meliter, bagi remaja, agar jangan salah melakukan pergaulan dengan tawuran, narkoba, geng motor da kejahatan lainnya.
Bolehkah Membela Diri? Tentu, Tapi Jangan Berlebihan.
Seringkali muncul pertanyaan: bagaimana jika kita diserang duluan? Apakah tidak boleh membela diri?
Jawabannya ada dalam Pasal 49 KUHP, yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak melakukan pembelaan diri terhadap ancaman yang melawan hukum. Tapi pembelaan itu harus sepadan, tidak boleh melampaui batas.
“Membela diri itu hak setiap manusia. Tapi jika pembelaan berubah jadi pembunuhan atau pembantaian, maka pelakunya tetap bisa dipidana,” ujar Dr. Andi Sitorus menambahkan.
Masyarakat Harus Ikut Bertanggung Jawab.
Fenomena ini tidak bisa dibiarkan menjadi beban aparat penegak hukum semata. Sekolah, orang tua, komunitas, hingga tokoh agama dan budaya memiliki tanggung jawab besar dalam membina karakter dan mental anak muda. Pengetahuan hukum harus ditanamkan sejak dini, bukan hanya lewat hafalan, tetapi lewat praktik dan dialog yang membangun kesadaran.
Jalan Terbuka atau Jeruji Tertutup?
Anak muda hari ini adalah pemimpin hari esok. Tapi jalan menuju masa depan itu bisa hancur dalam satu malam jika salah memilih langkah. Tawuran bukan keberanian. Geng motor bukan prestise. Begal bukan bentuk perlawanan.
Remaja harus diajak berpikir: “Apakah kamu ingin dikenang karena prestasi, atau dibenci karena kekerasan?”
Keluarga harus bertanya: “Sudahkah anak-anak kita mengenal hukum sebelum melanggarnya?”
Hukum bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menjaga ketertiban dan keselamatan bersama. Dan masa depan bangsa ini, hanya bisa dibangun di atas pondasi keadilan dan kesadaran hukum bukan di atas genangan darah dan duka akibat kejahatan jalanan.**