“Menulis Kebenaran, Bukan Menyenangkan Kekuasaan”

Edukasi

banner 120x600
Oleh: Dedek Wahyudi
Wartawan Pemantau Perkembangan

Batam | Timelinewsidn.com,–“Seorang jurnalis harus menulis apa yang dianggap benar, bukan apa yang diinginkan penguasa.” Kalimat ini, yang sering dikaitkan dengan “Joseph Pulitzer” ikon pers dunia dan pendiri penghargaan jurnalistik paling bergengsi bukan sekadar kutipan. Ia adalah kredo abadi, manifesto etik, dan semboyan moral bagi setiap insan pers yang masih menyandang idealisme. Sabtu (24/5/2025)

Di tengah derasnya arus digitalisasi informasi, derasnya intervensi kekuasaan, serta banjirnya informasi tidak terverifikasi, kredo tersebut kembali menemukan relevansi. Jurnalisme bukan sekadar kerja tulis-menulis; ia adalah pengabdian terhadap nurani publik. Di balik pena, keyboard, dan lensa kamera, ada pertaruhan integritas yang tak bisa dibarter dengan amplop tebal, pesan sponsor, ataupun tekanan dari ruang-ruang gelap kekuasaan.

Grup diskusi Rakyat Batam Bicara adalah potret miniatur ruang publik digital yang masih menyimpan denyut jurnalisme warga (citizen journalism) yang hidup. Di dalamnya, terjadi dialektika pertemuan wacana yang tidak selalu harmonis, tapi justru memperkaya ekosistem literasi. Guyonan, satire, bahkan perdebatan keras menjadi bagian dari dinamika itu. Seperti yang pernah dikatakan Walter Lippmann, “Pers adalah cermin tempat masyarakat melihat dirinya sendiri.”

Diskusi yang terjadi dengan segala pro dan kontranya justru mempertegas peran jurnalis sebagai penyaring (gatekeeper) informasi. Seorang jurnalis sejati tidak boleh menjadi stenografer kekuasaan, yang hanya mencatat tanpa bertanya, yang hanya menerima tanpa menyaring. Ia harus menjadi watchdog, anjing penjaga demokrasi yang menggonggong kala ada penyimpangan.

Suatu waktu, dalam obrolan santai via WhatsApp, muncul satire yang tajam namun penuh makna:
“Humas BP Batam menyatakan pembangunan Pelabuhan Batu Ampar berjalan sesuai prosedur. Media kemudian memberitakannya. Eh… ternyata, mencuat dugaan korupsi. Hahaha!”
Lelucon ini bukan sekadar tawa. Ia adalah kritik dalam balutan humor, bentuk jurnalisme satire yang mampu menampar tanpa menyakiti, menyentil tanpa menggurui.

Jurnalis hari ini tak cukup hanya bisa menulis cepat. Ia harus mampu melakukan fact-checking, memahami frame pemberitaan, dan menghindari jebakan agenda setting pihak-pihak berkepentingan. Ia harus lihai menyeimbangkan antara objectivity dan truth-telling, karena dalam banyak kasus, netralitas justru bisa menjadi kedok bagi ketidakberpihakan pada kebenaran.

Pasal demi pasal dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sejatinya memberi ruang kepada kebebasan berekspresi, namun juga menuntut tanggung jawab etik. Di sinilah fungsi newsroom ethics harus berjalan, bukan hanya pada level redaksi, tapi juga dalam ruang diskusi wartawan sehari-hari. Seorang jurnalis yang jujur akan menulis meski pahit, dan yang setia pada rakyat akan tetap bersuara meski dibungkam.

Dalam era disrupsi ini, ketika algoritma bisa menggiring opini dan clickbait bisa mengaburkan fakta, jurnalis harus kembali pada jati dirinya sebagai pencari kebenaran. Menjadi narator peristiwa dengan nurani. Menjadi saksi sejarah yang tak tergoda gemerlap kuasa. Karena pada akhirnya, jurnalisme bukan soal siapa yang duluan memberitakan, tapi siapa yang paling bisa dipercaya.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *