Opini : Lili Suheli, ST.
Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2025
Medan | TIME LINE NEWS IDN.com,– Setiap 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Sebuah tanggal yang bukan sekadar catatan kalender, tetapi momentum historis yang mengingatkan kita pada harga yang mahal dari sebuah ideologi bangsa. Tanggal ini berkaitan erat dengan tragedi G30S/PKI tahun 1965, ketika tujuh perwira TNI Angkatan Darat gugur akibat keganasan pemberontakan. Tragedi itu nyaris menggoyahkan sendi-sendi negara, namun akhirnya bangsa Indonesia mampu bertahan dan membuktikan bahwa Pancasila adalah ideologi yang kokoh, tak tergantikan oleh ideologi lain. Rabu (1/10/2025)
Enam puluh tahun lebih telah berlalu. Namun, makna Hari Kesaktian Pancasila tidak pernah usang. Ia bukan semata peringatan heroik masa lalu, melainkan refleksi yang selalu relevan. Pertanyaannya, apakah Pancasila hari ini masih benar-benar kita hayati sebagai pedoman hidup, atau hanya tinggal dalam teks pembukaan UUD 1945 yang dibacakan setiap upacara?
Pancasila Ideologi Pemersatu
Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote, berjuta bahasa, budaya, suku, dan agama hidup berdampingan. Jika bukan karena Pancasila, sulit membayangkan bangsa dengan keberagaman sedemikian besar mampu tetap bersatu dalam satu bingkai negara.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila adalah hasil kristalisasi dari kebijaksanaan para pendiri bangsa. Sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, hingga Keadilan Sosial bukan sekadar kata-kata indah, melainkan pondasi yang menyatukan bangsa ini dari berbagai perbedaan.
Di era sekarang, ketika dunia digital kian memunculkan polarisasi, hoaks, dan ujaran kebencian, Pancasila seharusnya menjadi “filter moral”. Ia menuntun kita untuk tidak terjebak pada fanatisme sempit, baik itu politik, agama, maupun identitas sosial.
Ujian Zaman Dari G30S ke Era Digital
Kesaktian Pancasila pernah diuji pada 1965, ketika ideologi komunis berusaha menggantikan dasar negara. Ujian itu nyata, berdarah, dan meninggalkan luka sejarah. Namun hari ini, ujian Pancasila hadir dalam bentuk berbeda.
Globalisasi dan perkembangan teknologi membawa tantangan baru. Ideologi transnasional, paham radikalisme, hingga kapitalisme ekstrem menggerus nilai kebangsaan. Generasi muda lebih akrab dengan budaya pop global ketimbang pemahaman mendalam tentang Pancasila. Ironisnya, di tengah derasnya informasi digital, masih ada kelompok yang mencoba mempertentangkan kembali Pancasila dengan ideologi lain.
Bila dulu ancamannya adalah kudeta bersenjata, maka hari ini ancamannya adalah infiltrasi pemikiran, disinformasi, dan degradasi moral. Di sinilah relevansi Hari Kesaktian Pancasila: mengingatkan bahwa kita harus terus waspada, karena ideologi bisa runtuh bukan hanya dengan senjata, tetapi juga dengan kelalaian menjaga nilai.
Pancasila dalam Kehidupan Sehari-hari
Salah satu tantangan terbesar kita adalah bagaimana menerjemahkan Pancasila dalam tindakan nyata. Tidak jarang, Pancasila hanya hadir dalam pidato resmi, upacara, atau mural di dinding sekolah. Padahal, kesaktian Pancasila sejatinya terlihat dari sejauh mana nilai-nilainya hidup dalam masyarakat.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menuntun bangsa untuk menjunjung tinggi toleransi dan kebebasan beragama, bukan memaksakan keyakinan.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, seharusnya tercermin dalam perlakuan adil terhadap sesama tanpa diskriminasi.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menjadi penawar bagi politik identitas yang semakin tajam belakangan ini.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, seharusnya memandu demokrasi kita agar tidak terjebak pada sekadar perebutan kekuasaan.
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menjadi tantangan terbesar, bagaimana memastikan pembangunan tidak meninggalkan kelompok lemah.
Pancasila bukan hanya teks, melainkan tindakan. Gotong royong membersihkan lingkungan, membantu tetangga yang kesusahan, mengutamakan kepentingan bersama daripada ego pribadi, itulah wajah nyata Pancasila di kehidupan sehari-hari.
Tanggung Jawab Generasi Muda
Generasi muda adalah pewaris bangsa sekaligus penentu masa depan Pancasila. Namun, hasil berbagai survei menunjukkan kekhawatiran: sebagian anak muda mulai renggang dari nilai-nilai kebangsaan. Mereka lebih mengenal tokoh internasional dibanding pahlawan nasional. Bahkan ada yang mulai mempertanyakan relevansi Pancasila di era global.
Di sinilah pentingnya pendidikan karakter. Sekolah dan kampus tidak boleh hanya menjadikan Pancasila sebagai mata pelajaran formal yang membosankan. Pancasila harus diajarkan dengan cara kreatif, kontekstual, dan aplikatif. Anak muda harus diajak untuk melihat bagaimana Pancasila dapat menjawab persoalan nyata: dari intoleransi, krisis lingkungan, hingga ketidakadilan ekonomi.
Pancasila harus menjadi gaya hidup, bukan sekadar hafalan. Generasi muda perlu menyadari bahwa tanpa Pancasila, bangsa ini mudah terpecah belah.
Pancasila di Tengah Politik dan Pemerintahan
Tantangan lain adalah bagaimana Pancasila dihayati oleh para pemimpin bangsa. Tidak jarang, Pancasila hanya menjadi jargon politik, sementara praktiknya jauh dari nilai yang terkandung. Korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan politik uang adalah bukti nyata bahwa Pancasila belum sepenuhnya diinternalisasi dalam dunia politik.
Hari Kesaktian Pancasila harus menjadi pengingat keras: pejabat publik dipilih untuk mengabdi, bukan memperkaya diri. Rakyat berhak menuntut pemimpin yang mempraktikkan sila keempat demokrasi yang bijaksana dan sila kelima keadilan sosial dalam kebijakan nyata.
Alarm Kebangsaan
Hari Kesaktian Pancasila adalah alarm kebangsaan. Ia mengingatkan kita bahwa Indonesia bisa runtuh tanpa fondasi yang kokoh. Bukan berarti kita harus hidup dalam ketakutan, tetapi kita perlu sadar bahwa persatuan bangsa ini rapuh bila tidak dijaga.
Pancasila adalah benteng yang membuat Indonesia mampu bertahan dari berbagai ancaman, baik dari luar maupun dalam negeri. Ia adalah rumah bersama di mana semua warga, tanpa memandang agama, suku, atau latar belakang, bisa hidup berdampingan.
Pancasila Bukan Sekadar Sejarah
Enam puluh tahun setelah tragedi 1965, Pancasila tetap sakti. Kesaktiannya bukan karena mistis, melainkan karena relevansinya yang tak lekang oleh waktu. Pancasila terbukti mampu menyatukan bangsa, menjadi kompas moral, sekaligus benteng menghadapi gempuran zaman.
Tugas kita adalah memastikan Pancasila tidak hanya diperingati, tetapi juga dihidupkan. Dalam keluarga, sekolah, politik, ekonomi, hingga dunia maya, nilai-nilai Pancasila harus menjadi roh kehidupan.
Hari Kesaktian Pancasila bukanlah perayaan kemenangan masa lalu, tetapi ajakan untuk terus menjaga masa depan. Sebab, selama Pancasila hidup di hati rakyatnya, selama itu pula Indonesia akan tetap berdiri tegak sebagai bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.(Lie)