Foto : Ilustrasi Sosmed/Legito/Timelinenewsidn
Artikel : Oleh Legito, ST. M. KOM
Medan | Timelinenewsidn.com,-Pernah nggak sih kita mikir, kenapa makin ke sini hidup terasa makin “noisy”? Timeline penuh debat, story dipenuhi pencitraan, dan konten viral lebih cepat dipercaya daripada kata hati sendiri. Di tengah semua itu, pepatah lama “Pikir itu pelita hati” terasa seperti suara lirih di tengah konser EDM—nyaris tak terdengar, tapi kalau kita mau diam sebentar, justru di sanalah frekuensi paling jujur berada. Jumat (18/4/25)
Di era digital ini, banyak orang terjebak dalam kecepatan dan instan. Semua serba buru-buru: scroll, swipe, like, comment, share. Otak jadi over-stimulated, hati pun kebingungan. Kita sering ngira udah mikir matang, padahal cuma ikut arus FOMO (fear of missing out). Kita kira itu suara hati, padahal cuma hasil dari algoritma yang paham banget kebiasaan kita.
Algoritma jadi ‘kompas palsu’
Dulu, manusia berpikir dulu sebelum bertindak. Sekarang? Banyak yang ‘auto react’. Emosi cepat meledak karena terbiasa melihat semua dalam format instan. Yang penting cepat, yang penting trending. Sayangnya, itu bikin banyak hati redup. Bukan karena nggak punya cahaya, tapi karena lupa gimana cara nyalain pelitanya.
Algoritma bikin kita merasa tahu segalanya, padahal kadang kita cuma “dikasih tahu” apa yang pengen kita dengar. Makanya penting banget punya mental filter, semacam firewall hati, supaya kita nggak gampang di-take over sama konten dan opini yang belum tentu sehat.
Berpikir jadi skill langka
Di zaman semua serba visual, refleksi jadi skill langka. Kita diajarin bikin konten, tapi jarang diajak mikir isi kontennya. Kita sibuk bangun personal branding, tapi lupa bangun keutuhan diri. Padahal, berpikir itu bukan sekadar proses otak. Itu cara kita ngobrol sama hati, validasi perasaan, dan menyaring nilai.
Berpikir itu bukan gaya jadul. Justru di tengah hiruk-pikuk zaman now, kemampuan mikir kritis, reflektif, dan jernih adalah superpower. Itu cara kita tetap waras, tetap peka, dan tetap bisa jadi manusia yang utuh, bukan cuma username di layar.
Pilih pelita, bukan sorotan
Kita nggak butuh jadi spotlight di panggung dunia maya kalau hati sendiri gelap. Pelita itu mungkin kecil, nggak silau, tapi dia konsisten menyala. Dan pelita itu adalah pikiran yang jernih, hati yang sadar, dan keberanian buat jalan agak pelan di dunia yang semuanya serba cepat.
Jadi… slow down. Tarik napas. Kurangi auto-scroll. Dengarkan diri. Nyalain pelita itu lagi. Karena pada akhirnya, yang bikin kita bertahan bukan jumlah views atau followers, tapi kekuatan hati yang masih tahu arah.(**Red)