Oleh: Lili Suheli, ST
Medan | Timelinnewsidn.com,–
Perang dagang global telah menjadi dinamika baru dalam lanskap ekonomi internasional. Ketegangan antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, pemberlakuan tarif tinggi, hambatan non-tarif, hingga pembatasan ekspor-impor, tidak hanya mengganggu arus perdagangan internasional, tetapi juga berdampak sistemik terhadap negara berkembang seperti Indonesia. Dalam konteks ini, Indonesia perlu merespons dengan melakukan transformasi struktural yang berbasis pada inovasi teknologi dan kemandirian produksi. Senin (7/4/2025)
Pemerintah dan masyarakat harus bersinergi menata ulang orientasi pembangunan, tidak lagi bergantung pada ekonomi berbasis konsumsi, tetapi mendorong terwujudnya ekonomi produktif yang memaksimalkan potensi sumber daya lokal, baik alam maupun manusia. Teknologi tepat guna hadir sebagai solusi kontekstual—teknologi yang dirancang sesuai dengan kebutuhan lokal, murah, aplikatif, dan mampu mendukung industri skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Dalam era disrupsi teknologi 5.0, pendekatan konvensional tidak lagi relevan. Kita membutuhkan revolusi kognitif dan digitalisasi sosial yang menanamkan semangat technopreneurship, green innovation, dan circular economy. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi pasar besar bagi produk luar negeri, sementara generasi mudanya tenggelam dalam budaya konsumtif dan kehilangan semangat inovatif.
Budaya Konsumtif dan Tantangan Sosial
Fakta di lapangan menunjukkan masih kuatnya mentalitas konsumtif, terutama di kalangan generasi muda urban. Ketergantungan pada produk instan, gaya hidup hedonis di kafe dan mall, serta kecanduan platform digital yang tidak produktif seperti judi online, konten toxic, dan media sosial tanpa arah, semakin menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai produktivitas.
Di sisi lain, fenomena sosial seperti tawuran remaja, geng motor, hingga kriminalitas jalanan seperti begal, menjadi indikator lemahnya integrasi sosial dan kurangnya pemberdayaan. Ini bukan sekadar masalah moral, tapi tanda kegagalan dalam memberikan saluran aktualisasi diri yang konstruktif dan inovatif.
Sudah saatnya pemerintah, komunitas, institusi pendidikan, dan sektor swasta bekerja sama membangun ekosistem digital citizenship yang melek teknologi dan memiliki daya saing global. Kita butuh transformasi dari masyarakat pasif menjadi active creators—bukan hanya konsumen konten dan barang, tapi produsen nilai tambah berbasis kreativitas dan teknologi.
Daur Ulang, Inovasi, dan Ekonomi Sirkular
Dalam konteks revolusi teknologi tepat guna, salah satu langkah strategis adalah menghidupkan kembali potensi barang daur ulang. Sampah elektronik, besi tua, peralatan rumah tangga rusak—semuanya bisa di-upcycle menjadi produk baru dengan nilai ekonomi tinggi. Dengan pendekatan ekonomi sirkular, limbah bukan lagi beban, tapi sumber daya alternatif.
Contoh nyata dapat kita lihat dari negara-negara seperti Jepang dan Jerman, di mana masyarakatnya terbiasa memproduksi sendiri alat-alat rumah tangga berbasis sistem modular dan open-source. Lewat platform seperti maker space, open hardware labs, dan komunitas DIY tech, warga terlibat langsung dalam penciptaan teknologi dari bawah (bottom-up innovation).
Pemerintah dan Teknologi Progresif
Peran pemerintah sangat krusial sebagai regulator sekaligus fasilitator. Diperlukan kebijakan yang mendukung riset dan pengembangan teknologi tepat guna di daerah, pemberian insentif pajak untuk UMKM berbasis teknologi, serta integrasi program vokasi dengan kebutuhan industri lokal.
Program seperti Kartu Prakerja, Balai Latihan Kerja (BLK) Digital, dan inkubator startup daerah harus dioptimalkan agar benar-benar menyentuh lapisan masyarakat terbawah. Teknologi progresif—seperti Internet of Things (IoT), otomatisasi produksi, agroteknologi presisi, dan blockchain untuk logistik—perlu dikembangkan dan disosialisasikan dalam skala mikro yang bisa diakses masyarakat luas.
Kesimpulan: Menuju Indonesia Berdikari Teknologi
Revolusi teknologi bukan semata urusan industri besar, tapi tentang bagaimana masyarakat kecil memiliki akses, keterampilan, dan motivasi untuk memanfaatkan teknologi secara mandiri. Perang dagang global telah membuka mata kita bahwa ketahanan ekonomi nasional tidak bisa bergantung pada pihak luar. Kemandirian ekonomi berbasis teknologi tepat guna adalah harga mati.
Dengan sinergi antara teknologi, kreativitas, dan pemberdayaan sosial, Indonesia dapat membangun peradaban baru: masyarakat yang tidak hanya cerdas digital, tetapi juga berdaulat secara ekonomi, mandiri dalam produksi, dan tangguh dalam menghadapi tantangan global.(Red**)