Oleh: Agus Syahputra, S.Hi.
(Wartawan Pemerhati Perkembangan)
Medan | Timelinenewsidn.com-Era digital membawa berkah besar bagi kehidupan kita akses informasi yang cepat, kemudahan dalam berbisnis, hingga perluasan jejaring sosial. Namun di balik kemudahan itu, lahir pula tantangan baru, terutama menyangkut etika komunikasi di ruang digital.
Salah satunya adalah maraknya kasus hukum yang melibatkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tak jarang, percakapan atau komentar sederhana di media sosial berujung proses hukum karena dianggap mencemarkan nama baik.
Sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 310 ayat (2) dan diperkuat oleh UU ITE, siapa pun yang terbukti menyebarkan pencemaran nama baik melalui media elektronik dapat dikenai sanksi pidana. Ini menjadi pengingat penting bahwa menjaga lisan bukan hanya soal ucapan langsung, tetapi juga tentang apa yang kita ketik dan unggah di dunia maya.
Selain itu, Dasar Hukum Pencemaran Nama Baik di UU ITE.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, pencemaran nama baik melalui media elektronik diatur dalam:
Pasal 27 ayat (3) UU ITE
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Ancaman Pidana (Pasal 45 ayat (3))
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”
Fenomena “No Viral, No Justice” yang belakangan marak justru menjadi paradoks. Banyak pihak menggunakan media sosial untuk menyuarakan ketidakadilan, namun tak semua konten yang viral itu faktual. Unggahan sembarangan, entah video, tangkapan layar, atau komentar, dapat menimbulkan konflik serius, bahkan masuk ranah pidana.
Peran Strategis Generasi Z.
Generasi muda, khususnya Generasi Z, berada di garis depan dalam mengarungi derasnya arus informasi. Sayangnya, arus ini sering kali membawa serta pergeseran nilai-nilai budaya, norma sosial, dan agama. Dalam situasi ini, pendampingan dari orang tua dan lingkungan menjadi krusial agar mereka tak terjebak dalam penggunaan media sosial yang destruktif.
Saat ini, anak-anak sejak usia dini sudah terbiasa dengan gadget dan aplikasi digital. Tanpa arahan yang tepat, mereka rentan terpapar konten negatif mulai dari kekerasan, pornografi, perjudian online, hingga kasus hukum akibat ketidaktahuan dalam bermedia sosial.
Membangun Kembali Kehangatan Keluarga.
Dulu, rumah adalah tempat paling hangat—tempat makan bersama, bertukar cerita, dan menjalin keintiman. Kini, suasana itu perlahan pudar. Satu keluarga bisa duduk bersama, tapi masing-masing sibuk menatap layar gawai.
Inilah saatnya kita kembali membangun kehangatan keluarga, menanamkan nilai-nilai positif, dan mengarahkan penggunaan media sosial secara bijak. Teknologi seharusnya mendekatkan, bukan memisahkan; memudahkan, bukan menjerat.
Jika bukan kita yang memulai, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi?
Mari kita gerakkan moral kolektif agar media sosial menjadi ladang kebaikan tempat berbagi ilmu, menyebar empati, dan memperkuat solidaritas. Dengan menjaga lisan dan hati-hati dalam bersosial media, kita telah ikut menjaga martabat diri dan keharmonisan masyarakat.**