Telekomunikasi Merata, Indonesia Hebat: Dari Wacana Menuju Aksi Nyata

Opini Jurnalis

banner 120x600

Oleh: Agus Syahputra, S. Hi


Medan | Time Line News Idn- Di tengah gegap gempita transformasi digital, akses telekomunikasi bukan sekadar pelengkap, melainkan tulang punggung peradaban modern. Ia menjadi enabler utama bagi pendidikan, ekonomi digital, pelayanan publik, hingga keamanan nasional. Namun, di balik sinyal kuat yang menyelimuti kota-kota besar, masih ada blank spot yang menanti uluran tangan pembangunan. Kamis (17/4)

Pemerintah memang telah meluncurkan berbagai program strategis seperti Palapa Ring dan Bakti Kominfo, serta mempercepat konektivitas lewat satelit multifungsi SATRIA-1. Tak ketinggalan, ekosistem 5G readiness mulai menggeliat di kota-kota besar, membuka peluang besar bagi industri dan smart city development. Tapi pertanyaannya: kapan sinyal ini bisa benar-benar menyentuh desa-desa terpencil yang masih “digital darkness”?

Tak bisa dipungkiri, infrastruktur adalah kata kunci. Namun, membangun BTS (Base Transceiver Station) di daerah pegunungan atau pulau-pulau terluar bukan perkara mudah. Di sinilah dibutuhkan pendekatan multi-sektor—kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan komunitas lokal. Kita butuh public-private partnership yang visioner, bukan proyek sporadis yang hanya jadi headline sesaat.

Selain infrastruktur keras, kita juga mesti memikirkan infrastruktur lunak—yakni literasi digital masyarakat. Apa gunanya jaringan cepat jika masyarakat belum siap memanfaatkannya secara produktif? Di sinilah peran edukasi digital dan capacity building menjadi krusial, demi mencetak generasi yang tech-savvy, kritis, dan adaptif terhadap perubahan.

Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2023 baru sekitar 70% rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses internet. Artinya, satu dari tiga warga negeri ini masih terputus dari percakapan global. Ini bukan sekadar statistik, tapi alarm sosial yang harus ditanggapi dengan kebijakan berbasis empati dan keberpihakan.

Industri pun mulai berbenah. Merger XL Axiata dan Smartfren yang digadang-gadang menciptakan market challenger baru, memberi sinyal akan peta persaingan yang makin kompetitif. Belum lagi rencana investasi teknologi AI oleh Nvidia dan Indosat Ooredoo Hutchison yang menjadi game changer di sektor digital. Tapi perlu dicatat: pembangunan bukan hanya soal megaproyek di Jawa, tapi tentang menghadirkan equal access dari Sabang sampai Merauke.

Kita tidak boleh berhenti pada retorika. Waktunya bergerak dari jargon ke aksi nyata. Dari pusat kota hingga pelosok negeri, dari kata-kata ke impact. Karena membangun telekomunikasi yang inklusif bukan sekadar urusan sinyal, tapi soal keadilan.

Indonesia punya mimpi besar menjadi negara maju. Tapi tak akan ada Indonesia 5.0 jika masih ada anak bangsa yang belajar dengan sinyal satu bar. Telekomunikasi bukan hak istimewa—ia adalah hak dasar. Dan kini, tugas kita adalah memastikan hak itu sampai ke seluruh penjuru nusantara, tanpa terkecuali.(Red**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *