Oleh: Lili Suheli, ST
Ceo Redaksi Timelinenewsidn “Putra Asli Kelahiran Belawan”
Foto : Ilustrasi Goggle Pristiwa/Ist.
Belawan | Timelinenewsidn.com,- “Tulisan Ini Tidak Bermaksud Munyinggung Siapa pun menjadi renungan bersama”. Di sudut utara Kota Medan, di tengah semilir angin pelabuhan yang menyapu jalan-jalan sempit, Belawan kembali memerah. Bukan oleh senja yang indah, bukan oleh semangat pembangunan, melainkan oleh darah seorang anak berusia 14 tahun “Dim”, korban terbaru dari bentrokan antar lorong yang tak kunjung usai. Sebuah nyawa muda kembali terenggut, seakan menjadi tumbal dari dendam kolektif yang tak pernah dipertanyakan sumbernya.
Pertanyaannya sederhana, tapi menyayat: sampai kapan kita membiarkan anak-anak kita menjadi pion dalam perang yang tak jelas pangkal persoalannya?
Konflik antar lorong, antar gang, antar wilayah kecil di satu kelurahan, telah menjelma menjadi semacam “tradisi kelam” yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ironisnya, tak ada yang benar-benar tahu siapa memulai, dan mengapa harus terus berlanjut. Seolah, dendam sudah menjadi norma sosial. Batu, panah, senjata tajam, bahkan senapan angin kini menjadi bagian dari “mainan perang” anak-anak kita, generasi yang seharusnya kita bekali pena, bukan peluru.
Lorong menjadi medan laga, bukan lagi ruang silaturahmi. Anak-anak menjadi pasukan tempur, bukan pelajar yang bercita-cita tinggi.

Warga Belawan, tidakkah kita lelah?
Tidakkah suara sirene ambulans, jeritan ibu yang kehilangan anak, dan suara pecahan kaca rumah sudah cukup jadi pengingat bahwa kita tengah menciptakan neraka kecil di tanah sendiri?
Kita butuh lebih dari sekadar rasa prihatin. Kita butuh kesadaran kolektif, bahwa tragedi ini bukan hanya salah satu pihak. Bukan semata tanggung jawab polisi atau tokoh masyarakat. Ini adalah persoalan kemanusiaan dan kebudayaan. Kita semua bertanggung jawab atas suasana yang kita biarkan tumbuh di mana anak-anak lebih kenal nama senjata ketimbang nilai toleransi.
Pemerintah dan aparat penegak hukum tak cukup hanya hadir setelah peluru ditembakkan. Tak cukup hanya menjaga malam pasca-bentrokan. Dibutuhkan pendekatan akar rumput, edukasi perdamaian, rekonsiliasi sosial, dan program intervensi bagi remaja rawan konflik. Libatkan psikolog, sosiolog, guru, dan pemuka agama untuk memulihkan luka sosial yang sudah terlalu dalam.

Orangtua dan keluarga, peran kalian vital. Tanamkan pada anak-anak bahwa keberanian sejati bukan ada pada genggaman batu atau senjata, melainkan pada kemampuan mengampuni dan menolak provokasi. Ajak mereka membayangkan masa depan—bukan medan perang.
Tokoh agama dan adat, suara kalian mampu menembus tembok-tembok kebekuan. Jadilah juru damai, bukan hanya juru bicara. Ajarkan bahwa persaudaraan jauh lebih kuat daripada dendam lokalitas.
Dan kepada media, mari kita berhenti menjadikan konflik sebagai komoditas. Angkat narasi perdamaian, tokoh-tokoh muda yang menolak kekerasan, dan upaya-upaya penyatuan. Jadilah cermin yang memantulkan harapan, bukan hanya sorotan tragedi.
Karena sejatinya, tidak ada lorong yang menang dalam pertikaian ini. Semua kalah. Yang mati kehilangan masa depan. Yang hidup kehilangan rasa aman dan akal sehat.
Hari ini, Belawan berduka. Tapi duka tidak boleh berhenti sebagai rasa. Ia harus menjadi gerak. Gerak untuk perubahan. Gerak untuk menyembuhkan. Gerak untuk memastikan bahwa tidak akan ada lagi anak yang harus dimakamkan hanya karena ia berasal dari lorong yang “berbeda”.
Mari kita wariskan pada anak-anak kita bukan dendam, tapi damai. Bukan senjata, tapi ilmu. Bukan kemarahan, tapi kasih sayang.
Sudah saatnya kita akhiri perang yang tak punya nama ini.Karena satu peluru tak hanya menembus dada seorang remaja, ia menembus nurani seluruh Belawan.(Red**)