Oleh : Lili Suheli, ST
Jurnalis Keselamatan Jalan & Pemerhati Mobilitas Perkotaan
MEDAN | Timelinenewsidn.com – Setiap pagi, jalan-jalan utama Kota Medan dipenuhi hiruk-pikuk kendaraan. Suara klakson bersahut-sahutan, sepeda motor menyalip dari kiri dan kanan, bahkan tak jarang trotoar dijadikan jalur alternatif. Ini bukan sekadar lalu lintas, ini adalah potret kehidupan sehari-hari yang nyaris dianggap lumrah. Rabu (9/4)
Namun, di balik rutinitas itu, tersimpan krisis yang terus membayangi, budaya tertib lalu lintas yang rapuh. Data dari Polda Sumatera Utara mencatat, sepanjang tahun 2023, terjadi 6.179 kasus kecelakaan lalu lintas di wilayah ini. Dari angka tersebut, 1.405 nyawa melayang, 1.988 orang luka berat, dan 7.072 luka ringan, dengan kerugian materi lebih dari Rp17 miliar.
Khusus Kota Medan, menurut data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022 tercatat 1.665 kecelakaan, dengan 211 korban jiwa. Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Mereka adalah nama, wajah, dan keluarga yang kehilangan harapan karena kelalaian di jalan raya.
Jalan Raya, Cermin Peradaban Sebuah Kota.Sering kali kita lupa, jalan bukan sekadar ruang lalu lintas. Ia adalah ruang sosial. Tempat pertemuan antara pengendara, pejalan kaki, pesepeda, dan pengguna transportasi umum. Ketika satu pihak merasa lebih berhak dari yang lain, ketika aturan dilanggar demi ego pribadi, maka ruang itu kehilangan maknanya sebagai ruang publik.
Budaya tertib berlalu lintas adalah fondasi dari kota yang layak huni. Kota yang nyaman bukan diukur dari lebar jalannya saja, tetapi dari seberapa aman anak menyeberang jalan, seberapa tenang lansia berjalan kaki, dan seberapa besar rasa saling menghormati antar pengguna jalan.
Akar Permasalahan: Sistemik dan Sosial. Mengapa tertib berlalu lintas sulit diwujudkan? Jawabannya kompleks. Di satu sisi, kita menghadapi tantangan sistemik—minimnya infrastruktur keselamatan seperti trotoar yang memadai, lampu lalu lintas yang sering rusak, zebra cross yang tidak terlihat, serta transportasi publik yang belum ramah dan efisien.
Di sisi lain, ada tantangan kultural. Disiplin berlalu lintas masih dianggap sekadar formalitas. Banyak pengendara melihat lampu merah bukan sebagai kewajiban hukum, tapi sebagai “saran”. Helm dipakai bukan untuk keselamatan, tapi karena takut ditilang.
Dikutib dari berbagai sumber, Gubernur Sumatera Utara, Bobby Affif Nasution, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap tingginya angka kecelakaan. Dalam beberapa kesempatan, ia menekankan perlunya disiplin kolektif masyarakat dalam berkendara sebagai bagian dari upaya mengurangi tragedi di jalan raya.
Sinergi, Kata Kunci Transformasi. Solusi tidak bisa ditumpukan pada satu pihak. Pemerintah, masyarakat, komunitas, sekolah, bahkan media harus bergerak bersama. Pemerintah punya kewajiban memperkuat sistem, membangun infrastruktur yang ramah semua pengguna jalan, menyediakan transportasi publik yang aman dan terjangkau, serta menegakkan hukum secara adil.
Di sisi masyarakat, peran sebagai pelopor tertib lalu lintas tak bisa diabaikan. Komunitas bisa menggelar edukasi di sekolah-sekolah, menyuarakan isu keselamatan di media sosial, hingga menjadi relawan pengawal zebra cross di lingkungan masing-masing.
Hasil dari kolaborasi ini sudah mulai terlihat. Dalam pelaksanaan Operasi Ketupat Toba 2025, angka kecelakaan turun hingga 68% dalam enam hari pelaksanaan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Ini membuktikan, ketika penegakan dan kesadaran berjalan beriringan, perubahan itu nyata.
Literasi Keselamatan, Investasi yang Tak Terlihat, Tapi Terasa. Bayangkan jika pendidikan keselamatan jalan dimulai sejak anak-anak. Mereka tidak hanya diajari menyebut rambu, tapi memahami kenapa aturan itu penting. Mereka tumbuh dengan kesadaran bahwa menyalakan lampu sein adalah bentuk penghargaan kepada pengguna jalan lain. Bahwa memberi jalan kepada pejalan kaki adalah bagian dari etika hidup bersama.
Kampanye publik yang kreatif, lewat mural kota, konten media sosial, bahkan drama sekolah, bisa menjadi sarana efektif membentuk karakter baru dalam berlalu lintas. Edukasi yang tidak menggurui, tapi menginspirasi.
Jalan ke Depan, Visi Medan yang Tertib dan Manusiawi. Mewujudkan budaya lalu lintas yang tertib bukan mimpi kosong. Kota-kota lain di dunia telah membuktikannya. Mereka mengintegrasikan antara infrastruktur, teknologi, hukum, dan literasi warga. Medan bisa belajar dan bergerak menuju arah itu.
Ketika tertib lalu lintas menjadi kebiasaan, kota akan berubah. Arus kendaraan lebih lancar, risiko kecelakaan menurun, masyarakat lebih sehat secara fisik dan mental, bahkan ekonomi pun ikut tumbuh. Wisatawan merasa aman, investor percaya pada tata kelola kota.
Ini Bukan Sekadar Jalan, Ini Jalan Perubahan. Menumbuhkan budaya tertib berlalu lintas memang tak mudah. Ia menuntut konsistensi, kesabaran, dan kolaborasi jangka panjang. Tapi jika kita mulai dari diri sendiri, dari rumah, dari komunitas kecil—maka satu demi satu lapisan budaya lama akan tergantikan oleh kesadaran baru.
Karena jalan raya bukan sekadar aspal dan marka. Ia adalah nadi kehidupan kota. Dan keselamatan adalah hak semua warga.
Tertib lalu lintas bukan pilihan—ia adalah kewajiban moral dan sosial. Demi masa depan yang lebih aman, beradab, dan manusiawi atas kesadaran berkendara.(Red)